SEJARAH
MASUKNYA PERKEMBANGAN TASAWUF
A.
Landasan dan Motivasi Lahirnya Tasawuf
Timbulnya tasawuf dalam Islam
bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW
diutus Rasulullah untuk segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah
berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira disamping untuk
mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan
hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad berusaha mencari jalan untuk membersihkan
hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu.
Tahannuts dan khalwat yang
dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan
hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha
memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat
kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang
sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi
ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam
mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala pola dan tingkah laku, amal
perbuatan dan sifat Muhammad sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan
manifestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi
pembawaan sejak kecil.
Dengan turunnya wahyu yang pertama
pada tanggal 17 Ramadhan atau 16 Agustus 571 M, berarti Muhammad SAW telah
diangkat dan diutus menjadi Rasul untuk mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan
ummat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai kebahagiaan
hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga wahyu yang diturunkan itu Rasulullah
dapat membenahi masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang maju sesuai
dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.
Adapun tentang sumber-sumber yang
menjadi landasan tasawuf Islam itu terdapat bermacam-macam pendapat.
Diantaranya ada yang menyatakan bahwa sumber tasawuf islam adalah dari ajaran
Islam itu sendiri. Selain itu pula ada yang berpendapat bahwa sumber tasawuf
itu berasal dari persia, Hindu Nasrani dan sebagainya.
Orientalis Messignon dalam “Encyclopedie
de Islam” berkata tentang sumber tasawuf bahwa :”ulama-ulama Islam masih
bersimpang siur dalam memecahkan dan mencari sebab-sebab terjadinya
perselisihan besar dalam bidang Aqidah islam diantara pelbagai mazhab didalam
Islam, yaitu antara mazhab tasawuf dan mazhab ahli Sunnah wal-Jama`ah.” Menurut
penadapat merx :”Tasawuf merupakan aliran yang datang kedalam islam yang
berasal dari pendeta-pendeta Syam. Menurut Jones, tasawuf islam itu berasal
dari Filsafat Neo Platonisme atau berasal dari agama Zoroaster Persia atau
agama Hindu. (Qamar Kailany: 15)
Tentang tasawuf Islam itu
berorientasi R.A Nicholson menjelaskan
sebagai berikut : “Menetapkan tasawuf Islam merupakan import kedalam islam,
tidaklah dapat diterima, yang sebenarnya ialah kita melihat sejak lahir agama
islam, bahwa bibit berfikir seperti dasar-dasar tasawuf itu ada yang telah
tumbuh didalam hati setiap keluarga Jama`ah Islam yaitu sewaktu orang islam itu
sedang membaca Al-Qur`an dan Hadist Nabinya.” (Qamar Kailany;15).
Dari pendapat-pendapat tersebut
diatas jelas adanya perbedaan pandangan tentang sumber tasawuf Islam itu, namun
demikian dapat dinyatakan bahwa para orientalisten yang kurang jujur berpendapat bahwa tasawuf Islam itu
berpendapat bahwa islam itu sendiri sudah ada benih-benih untuk tumbuh dan
berkembang sesudah disemaikan didalam lubuk hati setiap muslim, karena tidak
dapat dipungkiri lagi ajaran yang menyatakan bahwa : Islam itu tinggi dan tidak
ada yang dapat mengatasinya,” dengan pengertian lain dapat ditegaskan bahwa
kemurnian ajaran islam itu benar-benar
mengandung nilai-nilai kerohanian yang menjadi sumber akhlak bagi setiap
muslim, terutama bagi para sufi yang senantiasa berusaha membersihkan hati dan
mensucikan jiwa mereka dan berhias dengan perangkai terpuji serta menjauhkan
diri dari perangai tercela.
Dengan demikian, dapat ditegaskan
bahwa sumber dan landasan tasawuf islam itu sendiri, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya mendapat pengaruh dari luar islam. Dalam hal ini Qamar kailany
dalam bukunya Fittashawuffiislam menjelaskan bahwa tasawuf Islam itu dalam
perkembangannya ,mempunyai unsur-unsur yang jauh. Unsur yang dekat dan unsur-unsur yang
jauh. Unsur yang dekat ialah Al-Quran, Hadist, Sirah Nabi, Sirah
Khulafaurrasyidin, Struktur Sosial dan Firqah-firqah sedangkan unsur jauh ialah
pengaruh agama Nasrani, yahudi, budha dan Persia (Khamar Kailany: 16).
Perkembangan
tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu :
1. Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu
fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan
tasawuf. Pada fase ini terdapat individu – individu dari kalangan muslim yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian,
maupun tempat tinggal.
2. Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh
perhatian terhadap hal – hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku
tasawuf pun berkembang menjadi ilmu
moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pada masa ini tasawuf identik
dengan akhlak (berkembang ± satu abad).
3. Pada abada ketiga hijriah, muncul jenis –
jenis tasawuf lain yang lebih
menonjolkan pemikiran yang eksekutif yang diwakili oleh AL-Hallaj yang kemudian
dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj mengalami peristiwa naas
seperti ini karena paham hululnya ketika itu sangat kontraversional dengan
kenyataan di masyarakat yang tengah mengandrungi tasawuf akhlaqi.
4. Pada abad kelima Hijriah, muncullah imam
AL-Ghazali yang sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah
serta bertujuan arketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan
moral.
5. Pada abad ke enam hijriah , sebagai akibat
pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni
semakin meluas ke seluruh pelosok dunia.
6. Pada abad ke enam Hijriah,muncul sekelompok
tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori
mereka yang bersifat setengah – setengah . diantara mereka terdapat
Syukhrawardi AL-Maqtul (w.549 h), syeikh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (w.635 h)
dan sebagainya.
PERKEMBANGAN TASAWUF ISLAM
Seperti
yang telah disinggung dimuka, kehidupan zuhud dalam masyarakat Islam pada
awalnya sejarah merupakan langkah awal atau dari kehidupan rohani yang kemudian
berkembang ketahap lanjutan yang disebut tasawuf. Kehidupan zuhud merupakan
ajaran Islam yang murni dan karena itu ia telah dikenal dengan beberapa nama
sejak permulaan lagi, seperti (zahid), (faqir), nasik dan sebagainya. Semua
istilah ini menunjukakan kepada kesalehan, ketakwaan yang sungguh-sungguh dalam
berpegang kepada ajaran dan tuntunan agama dalam kehidupan dan ibadat seperti
yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi sendiri.
Dalam
permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud belum lagi merupakan suatu gerakan
keagamaan yang meluas, yang diamalkan oleh seluruh masyarakat islam, akan
tetapi ia merupakan kegiatan dan kecendrungan pribadi, mengikuti petunjuk islam
Al-Quran dan sunah Nabi. Dalam masa ini, para sahabat lebih gemar berjihad
dijalan Allah dan berdakwah untuk mengajak orang memeluk agama Islam daripada
kepedulian mereka kepada hidup zuhud dan beriktikaf dimesjid karena
berjihad dalam zaman ini dipandang sebagai amalan yang paling mulia dan paling
tinggi mertabatnya. Sehingga banyak umat Islam yang ingin memperoleh gelar
Syahid karena gugur dalam berjihad dan berdakwah dijalan Allah.
Dalam
zaman ini, kehidupan zuhud mempunyai dua ciri yang utama :
1.
Dari segi ibadat yang tampak dalam berbagai
zikir dan salat sunat
2.
Segi akhlak yang terlihat pada kesungguhan serta
keikhlasan berpegang pada sikap tawakkal yang kemudian telah berkembang menjadi
akhlak para sufi pada umumnya.
Pada akhir abad kedua Hijriah, kehidupan zuhud
telah berkembang demikan rupa, sehingga telah beralih kepada kehidupan tasawuf yang dengan sebab itu ilmu syariat terpecah
kepada dua bagian: ilmu fikih dan Tasawuf.
Ilmu fikih membahas hukum-hukum syariat yang
berkenaan dengan anggota lahir , seperti salat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya.
Sedangkan ilmu tasawuf membahas rahasia syariat
atau makna-makna rohani dari syariat yang berlaku pada hati sperti : Riya,
Ikhlas, khusyu`, tama`, angkuh dan sebagainya. Pada zaman ini kedua macam ilmu
agama ini diamalkan bersama dan dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dari ajaran dan tuntutan syariat, kendati pun dari segi ilmiah
dapat dibahas secara terpisah.
Dalam abad ketiga dan keempat Hijriah, ilmu
tasawuf memasuki zaman kejayaan, dimana perkembangan dan kemajuan ilmu ini
telah mencapai puncaknya. Dalam zaman ini kita menyaksikan banyak pemuka sufi
yang muncul ditengah-tengah masyarakat Islam, sehingga ilmu tasawuf telah
memainkan peranan yang khas disamping ilmu-ilmu islam lainnya. Kendati ilmu
tasawuf kemudian lahirnya dalam
masayarakat Islam dibandingkan dengan ilmu tafsir dan ilmu fikih misalnya, akan
tetapi peranan yang dimainkan para pemuka sufi zaman ini adalah sangat
berhasil, terutama sumbangannya dalam membangkitkan kepedulian para ulama
terhadap sisi kerohanian dari ajaran Syariat Islam.
Dan berkat upaya mereka pula. Ilmu ini telah
memperoleh kedudukan yang sah dan sejajar dengan ilmu-ilmu Islam lainnya. Dalam
zaman ini dunia ilmu tasawuf telah mengenal pemuka-pemuka sufi yang tersohor.
Antara lain:
1. Dzun Nun
al-Misri (wafat 245 H)
2. Ma`ruf
al-Kharki (wafat 200 H)
3. Abu Sulaiman
al-Darani (wafat 215 H)
4. Al-Junaid
al-Baghdadi (wafat 298 H)
5. Sirri al-Siqti
(wafat 253 H)
6. Abu Bakar
Al-Syibli (wafat 334 H)
7. Dan
lain.lain.
Dalam
pengamalan dan penghayatan keagamaan, para sufi mempunyai tujuan yang diperoleh
yaitu “ Keyakinan”. Martabat yakin tidak akan memperoleh tanpa ada makrifat,
lebih-lebih karena martabat yakin yang ingin dicapai adalah martabat haq
al-yaqin. Sebagaimana diketahui para sufi membagi martabat yakin kepada tiga
bagian:
1.
Ilmu Yaqin
Yang
diperoleh dengan akal fikiran
2.
Ainul yaqin
Adalah ilmu
yang diperoleh dengan panca indra
3.
Haqqul yaqin
Adalah ilmu
yang diperoleh dengan hati atau dzauq.
Untuk
memudahkan pemahaman diberi contoh seperti asap yang menunjukkan kepada adanya
api. Selagi adanya api itu dibuktikan dengan asap maka itu disebut ilmul yaqin,
dan dibuktikan dengan melihat sendiri dengan mata maka itu `ainul yaqin,
sedangkan jika api itu dibuktikan adanya yang menyentuhnya, maka itu disebut
haqqul yaqin. Dalam tingkat yakin yang terakhir ini, keraguan tidak ada lagi,
karena mengetahui dengan yang diketahui sudah menjadi satu. Inilah tingkat
yakin yang paling diinginkan oleh para sufi dari berbagai mazhab dan aliran.
Dengan
demikian hanya dengan makrifah yang bersumber dari hati, orang sufi memperoleh
haqqul yaqin. Inilah sebabnya ma`ruf al-Kharki mengatakan Tasawuf adalah
mengambil hakikat dan tidak mengharapkan apa yang ada ditangan manusia.”
Maksudnya mengetahui hakikat Illahi melalui (kasyf=penyingkapan tabir) dan
memilih hidup zuhud atau menahan diri dari apa yang dimiliki oloeh manusia.
Sebenarnya
tidak sedikit bantahan terhadap tasawuf yang datang dari kalangan para ulama
ahlussunnah. Terutama setelah Tasawuf
mengalami berbagai pengaruh dari budaya asing yang kebanyakan bercanggah
dengan akidah islam. Konsep al-Hulul dan ittihad yang diperkenalkan oleh Abu
Mansur al-Hallaj dan dengannya dia menyatakan dirinya sebagai al-haqq telah
berakhir dengan fatwa ulama yang membolehkannya dibunuh. Inilah untuk pertama
kali dalam sejarah tasawuf Islam seorang sufi dihalalkan darahnya oleh para
ulama karena ajarannya yang bertentangan dengan akidah agama. Demikian juga
ajaran tasawuf al-Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan
dirinya sebagai seorang nabi yang menerima limpahan nur Illahi dan berakhir dengan fatwa ulama bahwa
dia adalah seorang kafir yang halal darahnya. Lalu dia digantung di Aleppo pada
tahun 587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya dengan Ibn Sab`in yang
telah mengambil jalan pintas dengan membunuh diri karena serangan para ulama
yang sangat gencar terhadap ajaran tasawuf
yang diajarinya. Tidak sedikit pila para ulama yang membantah ajaran
tasawuf Ibn Arabi yang mengajar paham pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan
suatu kesatuan yang dipisahkan. Perbedaannya hanya pada nama, sedangkan pada
hakikat adalah satu.
Dengan banyaknya ajaran yang
menyimpang dari syari`at, maka ilmu tasawuf pada akhirnya mengalami kemunduran
yang luar biasa sehingga berakhir dengan kehilangan peranannya dalam ilmu-ilmu
Islam dan telah berubah wujudnya dalam bentuk pengalaman tarikat yang tidak
membawa sesuatau yang baru dalam ajaran kerohanian Islam selain dari
pengagungan para guru atau mursyid serta warisan ajaran yang mereka terima.
TAHAP-TAHAP PERKEMBANAGAN TASAWUF
Secara historis tasawuf telah
mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga
keadaannya sekarang.
Tahap
pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih sangat
sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan ke-2 H, sekelompok kaum Muslim
memusnahkan perhatian memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah
untuk mengejar keuntungan akhirat Mereka adalah, antara lain: Al-hasan Al-Basri
(w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah (w.185 H) kehidupan “model” zuhud kemudian
berkembang pada abad ke-3 H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspek
teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku hingga tasawuf menjadi
sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong
lahirnya pendalaman studi psikologis dan
gejala-gejala kejiwaan yang lahir selanjutnya terlibat dalam masalah-masalah
ini berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah
SWT. Sehingga lahir konsepsi-konsepsi seperti Fana`, terutama Abu Yazid
Al-Busthami (w. 261 H)
Dengan
demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang dikalangan kaum sufi, yang berbeda
dengan ilmu fiqh, baik dari segi objek, metodologi, tujuan, maupun
istilah-istilah keilmuan yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara lain
: Al-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-Ma`arif karya
Al-Suhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu setelah
sebelumnya hanya merupakan ibadah-ibadah praktis.
Dari
sisi lain, pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti Al-Juanid
dan Sari Al-Saqathi serta Al-Kharraz yang memberikan pengajaran dan pendidikan
kepada para murid dalam sebuah bentuk jamaah. Untuk pertama kali dalam islam
terbentuk tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang
memberikan berbagai pengajaran teori dan praktik kehidupan sufisfik, kepada
para murid dan orang-orang yang berhasrat memasuki dunia tasawuf. Pada periode
ini muncul pula jenis baru tasawuf yang diperkenalkan Al-Husain ibn Manshur
Al-Hallaj yang dihukum mati akibat doktrin hullulnya pada 309 H.
Pada
abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang
dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya
menegmbalikan tasawuf kepada status
semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral.
Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan
makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan
kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran
Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh
bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Dalam orientasi
umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi
disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz min Al-Dhalal, sebagai berikut:
Sejak
tampilnya Al-Ghazali ,pengaruh tasawuf Sunni
mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang
membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Akhmad Al-Rifa`I
(w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang sangat
terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi
berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan
Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn
Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang mereka kembangkan ini
adalah kesinambungan tasawuf Al-Ghazali.
Kenyataan
bahwa konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam tasawuf falsafi terpengaruh oleh
sumber-sumber asing pada gilirannya mendorong sejumlah peneliti mengasumsikan
tasawuf sebagian bersumber dari kebudayaan asing dan menutup kemungkinan
bersumber pada Islam. Jadi, meski filsafat dan menciptakan istilah-istilah
serta mewarnai konsepsi-konsepsinya dengan citra filsafat, pertumbuhannya tetap
bersumber dari islam. Oleh karena itu, kebanyakan orientalis kemudian berubah
sikap dengan tetap mengakui islam sebagai salah satu sumber tasawuf. Nicholson
dan Spencer Triminham, misalnya, mengakui adanya sumber islam dalam Tasawuf. Menurut
Abdul rahman badawi, hal itu disebabkan oleh asumsi-asumsi yang tidak diperkuat
oleh data-data yang ada.
Mengakui
adanya sumber islam dalam tasawuf tidak lantas mengingkari pengaruh
sumber-sumber asing, tetapi, yang dimaksudkan adalah meletakkan pengaruh
tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Adalah tidak
layak apabila menetapkan sumber-sumber asing saja padahal terdapat spirit yang
justru lebih dekat kepada semangat islam terutama dari prespektif Al-Quran dan
Sunnah.
]
Namun
penting dicatat bahwa tasawuf telah mengalami kemunduran sejak abad
ke-8 H karena mereka yang berkecimpungan dalam
bidang tasawuf terbatas kegiatannya pada
menulis komentar atau meringkas buku-buku tasawuf yang dikarang oleh sufi
terdahulu, kemudian memfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktik ritual yang
umumnya dilakukan dalam bentuk formalitas sehingga semakin jauh dari substansi.
Meskipun pengikut tarekat mencatat perkembangan pesat, tidak seorangpun yang
tampil sebagai tokoh klasik, baik dalam pengalaman
Penghayatan, maupun kualitas ilmu.
Barangkali, adalah kebekuan pemikiran serta spiritualitas kering yang melanda
Dunia Islam sejak masa-masa akhir periode Dinasti Usmaniah, yang menjadi faktor
penyebabnya.
Bagaimanapun,
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam tasawuf selama masa-masa
belakangan tidak berarti kelemahan ajaran tasawuf atau kesalahan metodologinya.
Berangkat dari persepsi ini kiranya dapat disimpulkan bahwa tasawuf mengalami
pola perkembangan alami. Dimulai dari gerakan zuhud pada masa Rasulullah Hasan Al-Basri, Abd Al-Wahid Ibn
Zaid, Ibrahim Ibn Ibn Adham, rabi`ah Al-Adawiyah kemudian Ma1ruf Al-Kahrki
Al-harits Al-Muhasibi, Abu yazid Al-Busthami< Al-Junaid dan Al-Hallaj hingga
abad ke-4 H.
Perlu diingat bahwa kepercayaan kaum sufi
terhadap tasawuf sebagai ilmu yang mampu menelusuri1 makna tersembunyi dan
rahasia serta hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran atau, meminjam
ungkapan Al-Thusi, mencapai hakikat pemahaman Al-Quran mendorong mereka
melakukan semacam otokritik terhadap yang mereka sebut sebagai sufi-sufi palsu
(ad`iya al-tashawuf). Salah satu tujuan mereka menulis atau mengarang
buku.