Kedudukan Istihsan sebagai Sumber Hukum Islam
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan
istihsan sebagai sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber
hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti
Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan
sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya
tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang
menggunakan istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’i.
Secara
umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
1.
Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan
sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak
terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau
menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun
alasan-alasan yang dikemukannya antara lain:
- Firman
Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18:
Artinya:
”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (Q.S Azzumar:18)
- Sabda
Rasul SAW: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi
Allah.”
- Ijma’
umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa
pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
2.
Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai
sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan
bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu atas dasar Istihsan. Karena
Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan
sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang hakim
atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar
lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak
diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan
Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan
membid’ahkan. Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum,
antara lain:
- Karena
kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau
qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari
Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan
pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
Allah swt
memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih
paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam surah an-nisa ayat 59
Artinya
: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S Annisa ayat:59)
- Nabi
Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan.
Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata
kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak
memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun
ayat tentang Zihar beserta kafaratnya dan contoh lainnya. Atas dasar
inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan
nash.
- Nabi
saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap
berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya
yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di
ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus.
- Istihsan
tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias dijadikan
standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas.
Sehingga bisa menimbulkan bias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar